Makna Tari Rejang Lilit Yang Merupakan Simbol Batu Lamben yang terkait dengan Sejarah Perang Tulamben

 Tari Rejang adalah sebuah tarian yang ditampilkan secara khusus saat ritual keagaamaan sebagai persembahan suci dalam menyambut kedatangan para dewa yang datang dari kahyangan dan turun ke bumi. Khusus Tari Rejang Lilit yang ada di Banjar Adat Merita yang  ditampilkan saat piodalan Ngusaba Ayu maupun Ngusaba Dangsil, disamping sebagai persembahan suci dan penghormatan kepada dewa atas berkenannya turun ke Bumi juga ada kaitannya dengan sejarah perang tulamben yaitu simbol Batu Lamben yang didalamnya terdapat Cili Kumalasa ( Batu Lamben adalah batu yang ada di pura melanting Desa Tulamben yang dipertaruhkan pada judi sabung ayam oleh penduduk tulamben dengan pelaut bugis). Tari Rejang lilit ditarikan dengan gerak-gerik sederhana oleh dua kelompok perempuan dari arah berbeda, berbaris bergerak maju perlahan kemudian membentuk dua bangunan spiral yang semakin mengecil, penari pada barisan terakhir adalah seorang anak kecil sebagai simbol Cili Kumalasa. Kemudian satu kelompok penari laki-laki berbaris dari satu arak bergerak mengelilingi penari perempuan yang sudah membentuk bangunan spiral yang semakin mengecil sebagai simbol Batu Lamben. 

 

Tari Rejang Lilit

Batu Lamben yang dipuja di Pura Melanting ( Pura Batu Belah Tulamben ) sebagai tempat berstana Ida Batara Rambut Sedana. Jadi, Tari Rejang Lilit yang ditampilkan dalam rangkaian piodal di Pura Puseh Banjar Adat Merita disamping sebagai persembahan suci, juga sebagai catatan sejarah yang tidak lekang dimakan zaman dan juga kehebatan spiritual dari para leluhur yang menterjemahkan simbol Batara Rambut Sedana yang berbebtuk Spiral seperti sehelai rambut ( #bangunan spiral penari kelompok perempuan).

Tari Rejang Lilit


Tari Rejang lilit merupakan salah satu rangkaian upacara yang ada saat piodalan Ngusaba Ayu maupun Ngusaba Dangsil di Pura Puseh Banjar Adat Merita yang merupakan simbol Batu Lamben yang terkait dengan Sejarah Perang Tulamben. Rangkaian Upacara lain yang ada pada piodalan Ngusaba Ayu maupun Ngusaba Dangsil dan menyimbulkan apa ? penulis akan update pada artikel lainnya. Dan bagaimana kisah Perang Tulamben?

 Kisah berawal sekitar tahun 1667 sebuah rombongan perahu mendarat di tepi pantai Desa Tulamben. Mereka adalah pelaut-pelaut bugis yang melakukan perdagangan ( simbol perahu ada di penataran Pura Puseh Banjar Adat Merita ). Setelah beberapa lama melakukan aktivitas perdagangan di Desa Tulamben mereka tertarik untuk membeli sebuah Batu Lamben ( Cili Kumalasa ) yang ada di Pura Melanting di tepi pantai Desa Tulamben. Dimana Batu Lamben ini adalah batu yang sangat dikeramatkan, disakralkan dan disucikan oleh penduduk Desa Tulamben. Dimana batu tersebut adalah batu mulia yang didalamnya terdapat prasasti Cili Emas dengan gambar guratan dewa-dewi. Segala upaya dilakukan oleh pelaut-pelaut bugis ini untuk bisa membeli Batu lamben ini, akan tetapi semua upaya yang dilakukan pelaut-pelaut bugis ini sia-sia karena penduduk Desa Tulamben tidak mau menjual batu tersebut. Hingga pada suatu hari pemimpin Desa Tulamben mengadakan pergelaran sabung ayam atau tajen. Dimana sabung ayam ini mengundang pimpinan atau tokoh-tokoh masyarakat disekitar Desa Tulamben. Karena keinginan pelaut-pelaut bugis untuk mendapatkan Batu Lamben ini dan dengan diadakannya perhelatan sabung ayam atau tajen mereka berniat mengajak penduduk Desa Tulamben untuk menjadikan batu tersebut menjadi taruhan. Kemudian pelaut-pelaut bugis ini yang disebut oleh penduduk tulamben dengan sebutan " Wong Perahu " mendatangi pemimpin Desa Tulamben. Saat itu Desa Tulamben di pimpin oleh Ki Jati Wiyasa, beliau lebih dikenal sebagai Ki Pasek Tulamben. Ki Jati Wiyasa merupakan anak dari  Ki Tirta Wijaya Kusuma yang merupakan keturunan dari Kyayi Agung Pasek Padang Subadra. Akhirnya terjadilah pertemuan antara pimpinan Desa Tulamben dengan Wong Perahu. Wong perahu mengutarakan niat mereka untuk mengajak pemimpin Desa Tulamben untuk bertaruh di perhelatan sabung ayam tersebut. Wong perahu menawarkan taruhan seluruh isi perahu mereka yang penuh dengan emas murni. Karena tergiur dengan isi perahu, pimpinan Desa Tulamben menyetujui taruhan tersebut. Mereka lupa bahwa mereka telah melakukan kesalahan besar dengan menjadikan sesuatu yang disakralkan sebagai bahan taruhan judi. Mereka lupa bahwa hal tersebut bisa mendatangkan bencana besar buat desa mereka. Akhirnya kesepakatan dicapai dimana wong perahu mempertaruhkan seluruh isi perahu sedangkan orang-orang tulamben mempertaruhkan Batu Lamben ( Cili Kumalasa ). Kemudian wong perahu minta membeli ayam petarung kepada penduduk tulamben, adapun ayam yang diminta harus ayam berbulu putih mulus dengan sehelai bulu ekornya berwarna hitam. Namun, tak satupun penduduk tulamben memiliki ayam dengan ciri tersebut. Tetapi penduduk desa tulamben tidak kekurangan akal, oleh mereka seekor ayam putih mulus dicabuti satu bulu ekornya kemudian diganti dengan bulu ekor warna hitam. Ayam tersebut kemudian dijual kepada wong perahu dan untuk memastikan ayam tersebut tidak bisa bertarung dengan sempurna maka digantungkan seikat uang kepeng pada leher ayam tersebut sebelum dijual kepada wong perahu.

Hari yang telah ditentukan tiba, sabungan ayam dimulai dengan ayam jantan putih mulus dengan sehelai bulu ekor warna hitam bertarung melawan ayam buwik milik penduduk desa tulamben. Ayam buwik ini merupakan ayam yang telah menang beberapa kali dan merupakan ayam asli desa tulamben sedangkan ayam putih merupakan ayam peranakandengan ayam dari lombok. Pertarungan akhirnya digelar dan dalam pertarungan tersebut ayam wong perahu jerih kemudian dilanjutkan ke ronde pruput. Dalam ronde pruput ini, ayam milik desa tulamben tajinya nyangkut pada sangkar atau guungan sehingga tidak bisa menyerang. Karena kelelahan ayam milik desa tulamben terduduk sedangkan ayam milik wong perahu masih berdiri. Akan tetapi wasit tajen ( Saye ) mengatakan itu sapih ( seri / draw ), jadi tidak ada pemenang, padahal seharusnya ayam wong perahu yang menang. Merasa dicurangi oleh penduduk Desa Tulamben, wong perahu minta pertarungan diulang. Wong perahu minta ayam jantan berbulu biing brahma. Ayam biing brahma ini dianggap memiliki keunggulan dan kelebihan tersendiri, dimana ayam ini juga berasal dari peranakan ayam dari lombok. Sebelum dijual ayam ini kembali lehernya digantungi uang kepeng dan disiksa dan kedua kakinya ditarik dengan tujuan agar tidak dapat bertarung sempurna pada sabungan nanti. Kemudian pertarungan kembali digelar ayam biing brahma milik wong perahu melawan ayam buwik milik penduduk desa tulamben. Dalam pertarungan tersebut ayam milik wong perahu terluka dan jerih, kemudian lari menyembunyikan kepalanya pada kurungan dipinggir arena tajen, sementara kaki yang ada tajinya menghadap keatas. Ayam buwik milik penduduk tulamben kemudian menyerang dengan garang namun sayang justru terkena taji ayam biing brahma yang menghadap keatas dan mati. Dengan demikian wong perahu dinyatakan menang.

 

Karena sudah menang wong perahu meminta taruhan yang sudah disepakati untuk diserahkan, akan tetapi penduduk tulamben ingkar janji dan tidak mau menyerahkan Batu Lamben ( Cili Kumalasa ) kepada wong perahu. Orang-orang tulamben mengira wong perahu tidak akan berani melawan penduduk desa tulamben karena menang jumlah dibandingkan dengan wong perahu yang hanya beberapa orang disamping itu juga penduduk tulamben merasa punya pemimpin yang sangat sakti sehingga tidak mungkin bisa dikalahkan. Walaupun begitu wong perahu punya persenjataan yang lebih canggih yaitu meriam yang ada di perahu atau kapal mereka. Karena merasa kalah jumlah wong perahu pergi dengan perasaan jengkel dan marah dan melanjutkan perjalanan, namun ditengah laut mereka mendengar suara gaib menyuruh mereka kembali dan melawan penduduk desa tulamben karena mereka sudah salah ( sisip ) yang berani menjadikan Batu Lamben sebagai taruhan judi dan juga tindakan curang dan ingkar janji. Maka, wong perahu kembali berlabuh untuk menyerang penduduk tulamben.

Maka sekitar tahun 1668 masehi terjadi perang antara penduduk desa tulamben melawan pelaut-pelaut bugis atau wong perahu sebutan yang diberi penduduk tulamben. Dibawah pemimpinnya Ki Pasek Tulamben, penduduk desa tulamben berperang melawan pelaut-pelaut bugis. Terjadilah pertempuran hebat antara penduduk tulamben melawan wong perahu. Dalam perang itu penduduk tulamben masih menggunakan persenjataan tradisional berupa tombak dan keris, sedangkan wong perahu sudah bersenjatakan bedil dan meriam. Dalam peperangan itu bila wong perahu terdesak mereka mundur kembali ke tengah laut dan esoknya kembali menyerang. Perang tulamben ini berlangsung selama 5 hari. Karena sisip atau melakukan kesalahan pada Ida Bethara yang berstana di Pura Melanting dan juga kalah persenjataan makapenduduk tulamben mengalami kekalahan. Pada masa itu penduduk tulamben tidak mendapat bantuan dari kerajaan karena dalam kerajaan juga sedang kacau balau akibat dari pemberontakan I Gusti Agung Maruti. Sehingga perang tulamben hanya melibatkan penduduk tulamben melawan pelaut-pelaut bugis.Dengan kekalahan penduduk tulamben maka hancurlah desa tulamben, kemudian wong perahu membelah Batu Lamben ( Cili Kumalasa ) pada Sukra Paing, Wuku Dungulan, Penanggal ping 13, Sasih Kasa, Tahun Caka 1602 ( Juli 1680 M). Wong perahu mendapatkan 7 buah cili emas  serta emas dan intan yang tidak ternilai harganya. Wong perahu mengetahui Ki Pasek Tulamben melarikan diri dan mengetahui benda benda berharga lainnya milik desa tulamben sudah dilarikan sebelumnya maka wong perahu menguliti dan menggantung orang-orang tulamben sehingga suasana mencekam. Kemudian wong perahu mulai membakar desa disekitarnya seperti Batudawa, Muntig, Tegelanglangan, Bunutempak, Culik, Datah, laklak, Tebu, Juntal, Bonyoh, Baturinggit, Kubu. Sementara penduduk desa tulamben yang masih hidup sangat ketakutan dan melarikan diri meninggalkan desa tulamben mengungsi ke berbagai arah. Wong perahu berhasil menawan beberapa anak  ( sekitar 10-15 ) yang dijadikan budak yang kemudian hari dijual kepada VOC di bugis ( makasar ). Dan salah satu anak tersebut adalah anak dari Ki Pasek Tulamben yang bernama Surowiroaji ( Untung Surapati ). Anak-anak ini oleh VOC diboyong ke Batavia. Di kemudian hari anak-anak ini membentuk pasukan melawan VOC dengan Untung Surapati sebagai pemimpinnya, yang terkenal dengan pasukan / laskar Untung Surapati dengan ciri khas ber-udeng putih.

Nah, Kisah Perang Tulamben inilah yang dilestarikan di Banjar Adat Merita dan dapat dilihat saat diadakan piodalan ngusaba dangsil ataupun Ngusaba Ayu dan detil kisahnya bisa disaksikan berupa simbol-simbol yang menjadi rentetan dari penyelenggaraa aci / piodal berupa Pesraman, Tari Rejang lilit, Sabungan Ayam yang menggunakan buah nanas, Presi, dan atraksi perang-perangan antara krama banjar melawan Sedahan, dimana Krama Banjar bersenjatakan nasi, tumpeng dan buah-buahan sedangkan Sedahan bersenjatakan Alu dan buah kelapa. Replika dari kapal wong perahu bisa dilihat di penataran Pura Puseh Banjar Adat Merita. Dan benda-benda berharga dari desa tulamben masih tersimpan di Pura Pasek Padang Subadra di Banjar Adat Merita berupa: Raja Purana, Keris dan Tombak.


Note: Penulis mengharapkan kritik dan masukan dari pembaca yang budiman bilamana ada kekeliruan di kolom komentar. Terima kasih.



Comments

Popular posts from this blog

Pura Dalem Ped, Nusa Penida

Batu Alien Merapi